kebenaran Penegakan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum, maka sudah semestinya seluruh energi di kerahkan agar hukum mampu bekerja untuk mewujudkan nilai-nilai moral dan hukum. Keberhasilan penegakan hukum akan menentukan serta menjadi barometer legitimasi hukum di tengah-tengah realitas sosialnya. Hukum di
Disamping itu, di sini kita juga perlu menyadari, bahwa di antara sunnatullah atau hukum Allah SWT yang ditetapkan di alam ini, adalah bahwa dalam hal kemajuan dan peradaban dunia, Allah SWT memposisikan orang-orang yang beriman dan taat pada hukum-hukum serta segenap ketentuan-Nya, berbanding umat lain yang membangkang dari ketentuan Allah
perilakuberlawanan dengan ketaatan adalah ketidaktaatan. Dan omong-omong, kita harus mengatakan bahwa perilaku yang bertentangan ini hanya dapat dibenarkan dalam kasus-kasus di mana apa yang dipaksakan, diperintahkan, tidak adil atau ilegal. Dalam hal ini, mengabaikan aturan atau mandat tidak akan disukai tetapi akan dibenarkan.
Untukbudaya hukum perlu dikembangkan prilaku taat dan patuh terhadap hukum yang dimulai dari atas . Artinya, apabila para pemimpin dan aparat penegak hukum berprilaku taat dan patuh terhadap hukum maka akan menjadi teladan bagi rakyat. Hukum dibuat oleh lembaga berwenang dengan jumlah yang cukup banyak dan terbagi dalam berbagai golongan.
terjadidi negara kita saat ini, betapa hukum seakan tidak berpihak pada rakyat kecil, sehingga dalam penegakan hukum muncul istilah tebang pilih dan sebagainya. Padahal semestinya dalam penegakan hukum, setiap warga negara mempunyai hak dan kedudukan yang sama tanpa perbedaan. Bahwa kasus yang sama harus diberi putusan yang
Sites De Rencontres Totalement Gratuits Pour Seniors. Saya menerima sebuah hadiah istimewa Natal lalu yang membawa bersamanya banyak kenangan. Keponakan perempuan saya memberikannya kepada saya. Itu sempat berada di antara barang-barang yang saya tinggalkan di rumah lama keluarga kami ketika saya pindah setelah saya menikah. Hadiah itu adalah buku coklat kecil ini yang saya pegang dalam tangan saya. Itu adalah buku yang diberikan kepada prajurit OSZA yang masuk dalam angkatan bersenjata selama Perang Dunia II. Saya secara pribadi menganggap buku itu sebagai hadiah dari Presiden Heber J. Grant dan para penasihatnya, J. Reuben Clark Jr. dan David O. McKay. Di bagian depan buku itu, tiga nabi Allah ini menulis “Insiden dinas militer tidak mengizinkan kami berhubungan terus-menerus secara pribadi dengan Anda, baik secara langsung ataupun dengan representasi pribadi. Cara terbaik kami berikutnya adalah untuk meletakkan dalam tangan Anda bagian-bagian itu dari wahyu modern dan dari penjelasan tentang asas-asas Injil yang akan mendatangkan bagi Anda, di mana pun Anda mungkin berada, harapan dan iman yang diperbarui, seperti juga penghiburan, pelipuran, dan kedamaian roh.”1 Dewasa ini kita mendapati diri kita sendiri dalam peperangan yang lain. Ini bukanlah peperangan dengan alat senjata. Itu adalah perang pikiran, perkataan, dan perbuatan. Itu adalah perang dengan dosa, dan lebih dari sebelumnya kita perlu untuk diingatkan mengenai perintah-perintah. Sekularisme menjadi norma, dan banyak dari kepercayaan dan praktiknya bertentangan langsung dengan apa yang ditetapkan oleh Tuhan Sendiri demi kepentingan anak-anak-Nya. Dalam buku coklat kecil itu, segera setelah surat dari Presidensi Utama, ada sebuah “Catatan Kata Sambutan kepada Para Pria dalam Tugas Militer,” berjudul “Kepatuhan terhadap Hukum Adalah Kemerdekaan.” Catatan itu menarik kesejajaran antara hukum militer, yang “adalah demi kebaikan semua yang berada dalam dinas militer,” dengan hukum ilahi. Itu berbunyi, “Di alam semesta, juga, di mana Allah memerintah, ada hukum—hukum … universal dan kekal—dengan berkat-berkat tertentu dan hukuman-hukuman yang tak berubah.” Kata-kata terakhir dari catatan itu berfokus pada kepatuhan pada hukum Allah “Jika Anda ingin kembali kepada orang-orang terkasih Anda dengan kepala tegak, … jika Anda mau menjadi seorang pria dan hidup dengan melimpah—maka taatilah hukum Allah. Dengan melakukan itu Anda dapat menambahkan pada kebebasan-kebebasan berharga itu yang tengah Anda perjuangkan untuk lestarikan, sebuah yang lain di mana kebebasan lainnya sangat mungkin bergantung, kebebasan dari dosa; karena sesungguhnya kepatuhan terhadap hukum adalah kemerdekaan.”2 Mengapa ungkapan “kepatuhan terhadap hukum adalah kemerdekaan” terdengar begitu benar bagi saya pada saat itu? Mengapa itu terdengar benar bagi kita semua saat ini? Barangkali itu karena kita memiliki suatu pengetahuan yang diungkapkan tentang sejarah prafana kita. Kita mengenali bahwa ketika Allah Bapa Kekal menyajikan rencana-Nya kepada kita pada permulaan zaman, Setan ingin mengubah rencana tersebut. Dia mengatakan dia akan menebus semua umat manusia. Tidak satu jiwa pun akan hilang, dan Setan yakin dia dapat menggolkan usulannya. Namun ada biaya yang tidak dapat diterima—kehancuran dari hak pilihan manusia, yang dulu dan sekarang adalah sebuah karunia yang diberikan oleh Allah lihat Musa 41–3. Mengenai karunia ini, Presiden Harold B. Lee menuturkan, “Setelah kehidupan itu sendiri, hak pilihan adalah karunia terbesar Allah bagi umat manusia.”3 Bukanlah hal yang sepele bagi Setan untuk mengabaikan hak pilihan manusia. Bahkan, itu menjadi isu utama yang karenanya Perang di Surga berkecamuk. Kemenangan dalam Perang di Surga adalah kemenangan bagi hak pilihan manusia. Setan, bagaimanapun, belumlah selesai. Rencana cadangannya—rencana yang telah dia jalankan sejak zaman Adam dan Hawa—adalah untuk menggoda pria dan wanita, pada dasarnya untuk membuktikan kita tidak layak akan karunia hak pilihan pemberian Allah. Setan memiliki banyak alasan untuk melakukan apa yang dia lakukan. Mungkin yang paling kuat adalah motivasi balas dendam, namun dia juga ingin membuat pria dan wanita sengsara seperti dia adalah sengsara. Tidak satu pun dari kita hendaknya pernah meremehkan bagaimana termotivasinya Setan untuk berhasil. Peranannya dalam rencana kekal Allah menciptakan “pertentangan dalam segala hal” 2 Nefi 211 dan menguji hak pilihan kita. Setiap pilihan yang Anda dan saya buat adalah ujian dari hak pilihan kita—apakah kita memilih untuk patuh atau tidak patuh terhadap perintah-perintah Allah sebenarnya adalah pilihan antara “kemerdekaan dan kehidupan kekal” serta “penawanan dan kematian.” Ajaran fundamental ini secara jelas diajarkan dalam 2 Nefi pasal 2 “Karena itu, manusia bebas secara daging; dan segala sesuatu diberikan kepada mereka yang adalah perlu bagi manusia. Dan mereka bebas untuk memilih kemerdekaan dan kehidupan kekal, melalui Perantara yang agung bagi semua orang, atau untuk memilih penawanan dan kematian, menurut penawanan dan kuasa iblis; karena dia berupaya agar semua orang boleh sengsara seperti dirinya” 2 Nefi 227. Dalam banyak aspek, dunia ini telah senantiasa berperang. Saya percaya ketika Presidensi Utama mengirimkan kepada saya buku coklat kecil saya ini, mereka lebih prihatin mengenai perang yang jauh lebih besar daripada Perang Dunia II. Saya juga percaya mereka berharap buku ini akan menjadi perisai iman melawan Setan dan bala tentaranya dalam perang yang lebih besar ini—perang melawan dosa—dan berfungsi sebagai suatu pengingat bagi saya untuk menjalankan perintah-perintah Allah. Satu cara untuk mengukur diri kita sendiri dan membandingkan diri kita dengan generasi-generasi sebelumnya adalah dengan salah satu standar tertua yang dikenal manusia—Sepuluh Perintah. Untuk sebagian besar dunia yang beradab, khususnya dunia Kristen-Yahudi, Sepuluh Perintah telah menjadi batasan yang paling diterima dan abadi antara yang baik dan yang jahat. Menurut penilaian saya, empat dari Sepuluh Perintah digunakan secara serius dewasa ini seperti juga kapan pun. Sebagai suatu budaya, kita membenci dan mengutuk pembunuhan, pencurian, dan kebohongan, dan kita masih percaya pada tanggung jawab anak-anak terhadap orang tua mereka. Namun sebagai masyarakat yang lebih luas, kita secara rutin mengabaikan enam perintah lainnya Jika prioritas duniawi adalah suatu indikasi, kita tentunya memiliki “allah-allah lain” yang kita dahulukan sebelum Allah yang sejati. Kita membuat berhala-berhala dari selebriti, dari gaya hidup, dari kekayaan, dan ya, kadang-kadang dari patung yang diukir atau benda. Kita menggunakan nama Allah dengan segala jenis cara yang tidak senonoh, termasuk seruan kita dan sumpah serapah kita. Kita menggunakan hari Sabat untuk pertandingan terbesar kita, rekreasi paling serius kita, belanja terberat kita, dan hampir segala sesuatu yang lain selain peribadatan. Kita memperlakukan hubungan seksual di luar pernikahan sebagai rekreasi dan hiburan. Dan menginginkan milik sesama telah menjadi cara hidup yang terlalu umum lihat Keluaran 203–17. Para nabi dari semua dispensasi telah secara konsisten memperingatkan pelanggaran terhadap dua dari perintah yang lebih serius—perintah yang berkaitan dengan pembunuhan dan perzinaan. Saya melihat suatu dasar yang sama untuk dua perintah amat penting ini—kepercayaan bahwa kehidupan itu sendiri adalah hak Allah dan bahwa tubuh jasmani kita, bait suci kehidupan fana, hendaknya diciptakan dalam batasan-batasan yang telah Allah tetapkan. Bagi manusia untuk menggantikan aturan-aturannya sendiri untuk hukum-hukum Allah pada sisi mana pun dari kehidupan merupakan tingginya kelancangan dan dalamnya dosa. Dampak utama dari sikap yang semakin bobrok ini mengenai kekudusan pernikahan adalah konsekuensi terhadap keluarga—kekuatan keluarga merosot pada tingkat yang mengkhawatirkan. Kemerosotan ini menyebabkan kerusakan yang meluas pada masyarakat. Saya melihat sebab dan dampak yang langsung. Sewaktu kita melepaskan komitmen dan kesucian pada pasangan nikah kita, kita menghilangkan perekat yang menyatukan masyarakat kita bersama. Sebuah cara yang berguna untuk berpikir tentang perintah-perintah adalah itu merupakan nasihat penuh kasih dari Bapa Surgawi yang bijaksana dan maha mengetahui. Gol-Nya adalah kebahagiaan kekal kita, dan perintah-perintah-Nya adalah peta jalan yang telah Dia berikan kepada kita untuk kembali kepada-Nya, yang merupakan satu-satunya jalan kita akan menjadi bahagia secara kekal. Seberapa signifikankah rumah tangga dan keluarga bagi kebahagiaan kekal kita? Di halaman 141 dari buku coklat kecil saya, itu berbunyi, “Sungguh surga kita hanyalah sedikit lebih daripada suatu pantulan dari rumah kita ke dalam kekekalan.”4 Ajaran tentang keluarga dan rumah tangga baru-baru ini ditegaskan kembali dengan kejelasan dan penekanan besar dalam “Keluarga Pernyataan kepada Dunia.” Itu menyatakan sifat kekal dari keluarga dan kemudian menjelaskan hubungannya dengan peribadatan bait suci. Pernyataan itu juga menyatakan hukum yang padanya kebahagiaan kekal keluarga ditautkan, yaitu, “Kuasa penciptaan yang sakral ini [hendaknya] digunakan hanya antara pria dan wanita, yang telah dinikahkan secara resmi sebagai suami dan istri.”5 Allah mengungkapkan kepada para nabi-Nya bahwa ada kemutlakan moral. Dosa akan selalu menjadi dosa. Ketidakpatuhan terhadap perintah-perintah Tuhan akan selalu menghalangi kita dari berkat-berkat-Nya. Dunia berubah secara konstan dan dramatis, namun Allah, perintah-perintah, dan berkat-berkat-Nya yang dijanjikan tidaklah berubah. Itu abadi dan tak berubah. Pria dan wanita menerima hak pilihan mereka sebagai karunia dari Allah, namun kemerdekaan mereka dan, pada gilirannya, kebahagiaan kekal mereka datang dari kepatuhan terhadap hukum-hukum-Nya. Sebagaimana Alma menasihati putranya Korianton, “Kejahatan tidak pernah merupakan kebahagiaan” Alma 4110. Di zaman Pemulihan kegenapan Injil ini, Tuhan sekali lagi telah mengungkapkan kepada kita berkat-berkat yang dijanjikan kepada kita karena patuh pada perintah-perintah-Nya. Dalam Ajaran dan Perjanjian 130 kita membaca “Ada suatu hukum, dengan tak terbatalkan ditetapkan di surga sebelum pelandasan dunia ini, yang di atasnya segala berkat dilandaskan— Dan ketika kita mendapatkan berkat apa pun dari Allah, itu adalah karena kepatuhan pada hukum itu yang di atasnya itu dilandaskan” A&P 13020–21. Tentunya tidak dapat ada ajaran apa pun yang lebih kuat dinyatakan dalam tulisan suci daripada perintah-perintah Tuhan yang tak berubah dan hubungannya dengan kebahagiaan dan kesejahteraan kita sebagai individu, sebagai keluarga, dan sebagai masyarakat. Ada kemutlakan moral. Ketidakpatuhan pada perintah-perintah Tuhan akan selalu menghalangi kita dari berkat-berkat-Nya. Ini tidaklah berubah. Di dunia di mana kompas moral masyarakat terhuyung-huyung, Injil Yesus Kristus yang dipulihkan tidak pernah goyah, tidak juga hendaknya pasak-pasak dan lingkungan-lingkungannya, keluarganya, atau anggota-anggota individunya. Kita tidak boleh mengambil dan memilih perintah mana yang menurut kita penting untuk ditaati melainkan mengakui semua perintah Allah. Kita harus berdiri kukuh dan tabah, memiliki keyakinan yang sempurna dalam konsistensi Tuhan serta kepercayaan sempurna pada janji-janji-Nya. Semoga kita senantiasa menjadi terang di atas bukit, teladan dalam menaati perintah-perintah, yang tidak pernah berubah dan tidak akan pernah berubah. Sama seperti buku kecil ini mendorong para prajurit OSZA untuk berdiri kukuh secara moral di masa-masa perang, semoga kita, di perang zaman akhir ini, menjadi suatu mercusuar bagi seluruh bumi dan khususnya bagi anak-anak Allah yang mengupayakan berkat-berkat Tuhan. Mengenai ini saya bersaksi dalam nama Yesus Kristus, amin.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Apabila masyarakat tidak memiliki kesadaran hukum, maka keadaan akan lebih mudah dalam menimbulkan suatu konflik dalam masyarakat, yang menimbulkan hal tersebut adalah masyarakat itu sendiri. Kenapa? Karena kurangnya kepatuhan dan kesadaran akan akan hukum semakin merosot, karena seringkali terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum dan ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum. Salah satu yang dapat kita contohkan adalah tidak dimilikinya kesadaran dan kepatuhan hukum terhadap tata tertib dilalu lintas. Tata tertib dilalu lintas ini merupakan suatu perbuatan dalam menunjukkan kesadaran dan kepatuhan akan adanya hukum lalu lintas. Apa akibatnya jika kita tidak mematuhi hukum atau tata tertib yang ada di lalu lintas?Ya, betul. Kecelakaan, didalam Pasal 1 Angka 32 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah diterangkan bahwa, ketertiban lalu lintas ini merupakan suatu keadaan berlalu lintas yang berlangsung secara teratur sesuai dengan hak dan kewajiban setiap pengguna jalan. Untuk permasalahan ketertiban dalam berlalu lintas di jalan raya merupakan tanggung jawab bagi setiap pengguna jalan, bukan hanya pihak kepolisian saja tapi tanggung jawab bersama. Mengenai tentang masalah kesadaran dan kepatuhan ini memang sedikit sulit untuk mewujudkan masyarakat yang sadar dan patuh terhadap hukum. Menurut pandangan saya sendiri, masyarakat itu bukannya tidak memiliki kesadaran atau kepatuhan. Tetapi kebanyakan mereka merasa untuk apa kita harus taat kepada hukum?Untuk apa kita patuh terhadap hukum? Orang yang mengerti akan hukum saja justru melanggar hukum dengan senang hati. Hingga akhirnya, karena pemikira yang seperti itu yang membuat mereka tidak memiliki kesadaran dan kepatuhan terhadap hukum. Tidak hanya itu, bahkan karena pemikiran seperti itu mereka seakan-akan tidak perduli akan hukum yang ada, hingga akhirnya timbullah tindakan-tindakan kriminalitas, yang kemudian membuat angka tingkat kriminalitas menjadi tinggi bukan hanya dalam kuantitas dan volumenya saja, tetapi juga dalam kualitas atau intensitas serta jenisnya. Muncul pertanyaan, untuk apa kesadaran akan hukum ini? Apakah dengan memiliki kesadaran terhadap hukum akan dapat mempengaruhi penegakkan hukum yang ada? Dampak yang muncul apabila masyarakat tidak memiliki suatu kesadaran dan kepatuhan hukum, yang menyebabkan terjadinya tidakan kriminal dimana-mana, tawuran dimana-mana, banyak tindakan asusila terhadap anak-anak dan wanita, hidup masyarakat akan menjadi kacau. Itu semua diakibatkan karena kurangnya kesadaran mayarakat akan hukum. Dari melihat hal seperti inilah maka diperlukannya untuk memiliki kesadaran dan kepatuhan hukum. Kesadaran hukum ini merupakan kesadaran dari diri sendiri tanpa paksaan, tekanan, maupun perintah dari luar untuk tunduk pada hukum yang ada. Dengan berjalannya kesadaran hukum dalam masyarakat, maka hukum tidak perlu mengeluarkan sanksi. Sanksi hanya akan dijatuhkan ketika seorang warga benar-benar terbukti melanggar hukum. Dengan kata lain, jika semakin tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin memungkinkan terwujudnya suatu penegakkan hukum yang baik pula. Jika sebaliknya, semakin rendah akan tingkat kesadaran masyarakat terhadap hukum, maka kan semakin sukar pula pelaksanaan penegakkan hukum yang kesadaran hukum terhadap masyarakat bukanlah proses yang mudah, atau sekali jadi, tidak! Tidak begitu, melainkan memiliki rangkaian proses, tahap demi tahap. Seperti; a tahap pengetahuan hukum; b tahap pemahaman hukum; c tahap sikap hukum; d tahap pola prilaku hukum. Membina kesadaran hukum merupakan suatu tuntutan perubahan sosial yang sering kali menjadi perhatian pemerintah dan telah digalakkan dalam suatu usaha pembangunan. Sejak awal pemerintahan Orde Baru Orba, secara jelas dan sistematis dituangkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR Nomor IV/MPR/1978 mengenai Garis-garis Besar Haluan Negara GBHN dalam hal hukum, tertib hukum dan Penegakkan Hukum. Dalam Persoalan pembinaan hukum di Indonesia merupakan suatu masalah yang sangat krusial di tengah-tengah meningkatnya angka kriminalitas di setiap tahunnya. Misalnya, pada tahun 2017, jumlah tahanan dan narapidana di Indonesia yang berada di dalam rutan/lapas berjumlah orang. Sedang pada tahun 2020 akhir, terjadi peningkatan jumlah tahanan dan narapidana hingga mencapai orang. Tingkat kriminalitas yang menjadi salah satu acuan terhadap keberhasilan program pembinaan hukum ini dalam memberikan gambaran bahwa Indonesia membutuhkan pola-pola pembinaan yang sangat efektif, untuk mewujudkan kesadaran hukum bagi masyarakat Indonesia. Indonesia yang masih sangat rentan dengan pelanggaran hukum membutuhkan perhatian yang lebih untuk menciptakan masyarakat yang sadar hukum dan masyarakat yang tertib hukum. Karena pada dasarnya, kesuksesan dan keberhasilan dalam pembangunan hukum ditentukan oleh kualitas pembinaan dikatakan bahwa kesadaran hukum ini wajib dimiliki oleh setiap masyarakat dan warga negara. Tanpa adanya kesadaran dan kepatuhan terhadap hukum, negara tidak akan memiliki penetapan hukum yang baik. Negara akan mengalami kekacauan. Jika kita sudah konsisten dalam membangun suatu Negara menjadi negara hukum, maka siapapun harus tunduk kepada hukum. Hukum tidak dapat diberlakukan secara diskriminatif, tidak memihak siapapun dan apapun, kecuali kepada kebenaran. Jika hukum diberlakukan secara diskriminatif, maka hukum tidak akan dapat dipercaya lagi sebagai sarana dalam memperjuangkan hak dan keadilan. Oleh karena itu, agar hukum memiliki kesadaran dan kepatuhan hukum. Karena sesungguhnya, jika semakin tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin memungkinkan terwujudnya suatu penegakkan hukum yang baik pula. Jika sebaliknya, semakin rendah akan tingkat kesadaran masyarakat terhadap hukum, maka kan semakin sukar pula pelaksanaan penegakkan hukum yang ApriliantiS20191024 Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
75% found this document useful 4 votes3K views3 pagesDescriptionkepatuhan hukumCopyright© © All Rights ReservedAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?75% found this document useful 4 votes3K views3 pagesArtikel Kepatuhan Hukum Akan Menjamin Ketertiban Dalam Kehidupan Bermasyarakat PKNJump to Page You are on page 1of 3Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
Hukum Perdata Oleh bitarDiposting pada Juni 3, 2020Mei 17, 2021 – di indonesia mempunyai hukum untuk mengatur prilaku warga negara di indonesia, antara lain hukum pidana, hukum perdata, hukum negara, dan hukum agama. disini akan menjelaskan tentang hukum perdata. […]
Pasal 18 Ketaatan Orang Kristen kepada Hukum 1. Meskipun pelanggaran hukum meluas, haluan apa yang ditempuh oleh mereka yang menuruti Alkitab? PELANGGARAN hukum telah meluas di seluruh dunia dewasa ini, tetapi mereka yang benar-benar hidup selaras dengan Alkitab tidak ikut dalam perbuatan demikian. Mereka mengindahkan nasihat Firman Allah yang mengatakan “Tunduk pada pemerintah dan orang-orang yang berkuasa.”—Titus 31. 2. Sikap yang bagaimana terhadap hukum harus dibuang oleh para penyembah sejati? 2 Memang, beberapa orang yang kini mengamalkan ibadat sejati dulunya pernah melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum. Mereka mungkin pernah mencuri barang-barang kepunyaan orang lain. Barangkali mereka berpikir bahwa mereka perlu mentaati hukum tertentu hanya bila ada polisi. Pada waktu itu mereka mungkin sama dengan banyak orang lain dalam masyarakat. Akan tetapi, Alkitab menjelaskan kepada mereka bahwa, jika mereka ingin melakukan ibadat sejati, mereka perlu mempunyai pandangan yang sangat berlainan terhadap kehidupan.—Efesus 422-29. 3. a Bagaimana seharusnya sikap seorang Kristen terhadap pemerintahan politik? b Mengapa seorang Kristen tidak patut ikut dalam kerusuhan atau perlawanan sipil guna merintangi kegiatan pemerintahan? 3 Memberikan ulasannya mengenai sikap sepatutnya dari seorang Kristen terhadap pemerintahan politik, rasul Paulus berkata “Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah.” Roma 131 Ini tidak berarti bahwa Allah mendirikan pemerintahan-pemerintahan ini atau menyetujui haluan mereka. Sejumlah pemerintahan terang-terangan mengatakan bahwa mereka tidak percaya kepada Allah ateis. Namun, Allah membiarkan pemerintahan-pemerintahan itu. Mereka tidak mungkin menjalankan kekuasaan jika Allah tidak membiarkannya. Yohanes 1911 Dan, karena Allah membiarkan mereka memerintah, mengapa ada orang Kristen yang hendak merintangi mereka memerintah? Sekalipun seseorang tidak setuju dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah, mengapa ia harus ikut dalam kerusuhan atau perlawanan sipil guna merintangi Negara menjalankan urusannya? Barangsiapa berbuat itu akan mendapat kesusahan, bukan saja dengan pemerintah duniawi, tetapi juga dengan Allah. Seperti dinyatakan di Roma 132 “Sebab itu barangsiapa melawan pemerintah, Ia melawan ketetapan [penyelenggaraan, NW] Allah dan siapa yang melakukannya, akan mendatangkan hukuman atas dirinya.” 4. a Faedah-faedah apa yang diberikan oleh pemerintah kepada kita? b Bagaimana seharusnya pandangan umat Kristen terhadap pembayaran pajak? 4 Layak ditunjukkan respek yang sepatutnya terhadap pemerintah dan penghargaan atas jasa-jasa baik yang diberikan oleh pemerintah. Kita semua mempunyai alasan kuat untuk merasa gembira bahwa pemerintah di tempat kita tinggal telah membangun jalan raya, sekolah untuk pendidikan, pencegahan kebakaran dan pemeriksaan mutu bahan makanan. Mahkamah pengadilan dan perlindungan terhadap kejahatan juga sangat berharga. Dalam hal-hal ini dan lain-lainnya, “pemerintah yang di atas” menunjukkan diri sebagai “hamba Allah,” yang menyediakan jasa-jasa yang menguntungkan rakyat. Maka apabila kita diminta untuk membayar semua jasa untuk umum ini dalam bentuk pajak, hendaklah kita ingat ayat yang berbunyi “Sebab itu perlu kita menaklukkan diri, bukan saja oleh karena kemurkaan . . . [sebagai hukum terhadap pelanggaran hukum], tetapi juga oleh karena suara hati kita. Itulah sebabnya maka kamu membayar pajak. Karena mereka yang mengurus hal itu adalah pelayan-pelayan Allah. Bayarlah kepada semua orang apa yang harus kamu bayar pajak kepada orang yang berhak menerima pajak, cukai kepada orang yang berhak menerima cukai.”—Roma 135-7. 5. a Apakah ketaatan orang Kristen kepada kalangan berwenang politik tidak terbatas? b Bagaimana Yesus menunjukkan bahwa ada dua segi yang harus dipertimbangkan? 5 Tetapi sampai berapa jauhkah ketundukan kepada kalangan berwenang politik ini? Apakah tidak terbatas? Apakah ketaatan kepada hukum manusia lebih penting dari pada ketaatan kepada hukum Allah? Tentu tidak! Perhatikanlah bahwa dalam ayat yang baru dikutip, “sebab” dari ketundukan itu mencakup ”suara hati.” Jadi, suara hati seseorang tidak boleh diabaikan, teristimewa jika suara hati itu sudah dilatih oleh Firman Allah. Yesus Kristus menunjukkan bahwa ada dua segi yang harus dipertimbangkan. Sambil menegaskan bahwa pajak kepada Negara Roma patut dibayar, ia berkata, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar,” dan kemudian menambahkan “Dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.” Markus 1217 Maka penting agar kita memeriksa haluan hidup masing-masing untuk memastikan bahwa, di atas segala-galanya, kita tidak ikut mendukung sikap masa bodoh terhadap hukum Allah yang makin meluas.—Mazmur 11-3. KETAATAN KEPADA HUKUM TERTINGGI 6. Apa yang dilakukan oleh para rasul ketika mereka diperintahkan untuk tidak lagi mengabar? Maka hukum siapa yang mereka taati sebagai yang tertinggi? 6 Tidak lama setelah kematian Yesus Kristus, para rasulnya diminta untuk menunjukkan pendirian mereka dalam soal ini. Mereka diperintahkan oleh para penguasa di Yerusalem agar tidak lagi mengabar atas nama Yesus Kristus. Apakah mereka menurutinya? Apakah saudara akan menurutinya? Para rasul dengan tegas menjawab “Kita harus lebih taat kepada allah dari pada kepada manusia.” Kisah 529; lihat juga 418-20. Mereka tidak melalaikan kewajiban terhadap hukum negara, tetapi apabila ada pertentangan langsung antara hukum manusia dan hukum Allah, mereka memandang hukum Allah sebagai yang tertinggi. Melihat sikap mereka itu, seorang anggota mahkamah yang disegani dengan bijaksana menasihatkan hakim-hakim lainnya untuk tidak menyusahkan orang-orang Kristen ini, supaya sebagai pejabat mereka tidak sampai melawan Allah.—Kisah 533-39. 7. a Apakah yang Allah katakan pada jaman Musa mengenai berbuat bakti di hadapan sebuah patung? b Barang-barang pujaan macam apa yang dibuat oleh manusia? c Apabila hukum duniawi menuntut pemujaan kepada satu patung atau lambang, contoh siapa hendaknya diingat oleh orang-orang Kristen? 7 Bukan hanya perintah Allah untuk mengabarkan yang penting. Ada lagi soal-soal lain. Yehuwa menyoroti salah satu di antaranya ketika Ia berkata kepada umatNya pada jaman Musa “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN [Yehuwa], Allahmu, adalah Allah yang cemburu [yang menuntut pembaktian yang tidak bercabang, NW].” Keluaran 204, 5 Namun banyak barang pujaan telah dibuat oleh manusia. Ada yang dibuat dari logam atau kayu. Ada yang dibuat dari kain, dengan rupa yang menggambarkan benda di langit atau di bumi, terjahit atau terlukis padanya. Adakalanya pemujaan yang dilakukan di hadapan benda-benda ini bersifat sukarela, tetapi kadang-kadang dituntut oleh hukum duniawi. Apakah ada perbedaannya? Jika hukum duniawi menuntut pemujaan terhadap suatu patung atau lambang, apakah ini membebaskan seseorang dari kewajibannya untuk mentaati hukum Allah dalam soal ini? Penyembah-penyembah yang setia kepada Yehuwa di distrik Babel tidak berpendapat demikian. Alkitab menuturkan bahwa tiga orang muda bangsa Ibrani, Sadrakh, Mesakh dan Abednego, menolak untuk ikut dalam upacara yang diperintahkan oleh raja. Mengapa? Karena upacara itu menyangkut ibadat, dan ibadat mereka menjadi hak Yehuwa saja. Allah berkenan kepada tindakan mereka. Tetapi bagaimana reaksi raja Babel? Mula-mula ia sangat marah. Namun pada waktunya, ia menyaksikan campur tangan Allah Yehuwa dalam soal ini. Setelah menyadari bahwa mereka tidak membahayakan keamanan negara, ia mengeluarkan keputusan yang melindungi kebebasan mereka. Daniel 31-30 Tidakkah saudara mengagumi kesetiaan mereka terhadap Allah? Tidak inginkah saudara seteguh mereka dalam memberikan ibadat yang tidak bercabang kepada Allah? 8. a Apa yang dituntut oleh Negara Roma dari rakyatnya dan mengapa umat Kristen abad pertama menolaknya? b Apakah orang Kristen ini berlaku tidak hormat? 8 Sengketa ibadat yang sama ini juga dihadapi oleh umat Kristen yang hidup di Kerajaan Roma. Negara ini menuntut agar setiap orang membakar kemenyan bagi raja sebagai tanda loyalitas. Umat Kristen tidak berbuat ini meskipun mereka mentaati hukum-hukum yang lain. Mereka insaf bahwa ini menyangkut ibadat, baik perbuatan itu dilakukan sebagai penghormatan terhadap satu lambang atau terhadap seseorang. Matius 410 Justin Martyr, yang hidup di abad kedua, mengutarakan pandangan umat Kristen ini, katanya “Kepada Allah saja kami beribadat, tetapi dalam hal-hal lain dengan senang hati kami melayani tuan [para penguasa politik], dan mengakui tuan sebagai raja dan penguasa manusia.” Umat Kristen ini sering disalah mengerti, tetapi apakah mereka melakukan sesuatu yang tidak hormat? Tidak. Mereka juga tidak membahayakan orang-orang Roma lainnya. Sebagaimana dilaporkan oleh gubernur Roma, Plini Muda, dalam suratnya kepada Raja Trajan, mereka pantang menipu atau mencuri atau berzinah. Mereka adalah orang-orang yang disukai sebagai tetangga, dan agama merekalah yang membuat mereka demikian. 9. Selain ibadat kita, apa lagi hutang kita kepada Allah? 9 Selain ibadat kita, ada lagi hutang kita kepada Allah. Seorang rasul dari Yesus Kristus menegaskan hal ini ketika ia berkata “Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya . . . memberikan hidup . . . kepada semua orang.” Kisah 1724, 25 Tak seorangpun dari kita dapat hidup kalau bukan karena Allah. Dialah sumber hidup. Mazmur 3610 Tetapi apa yang kita perbuat dengan kehidupan yang Ia izinkan untuk kita nikmati? 10. Bagaimana Alkitab menolong kita untuk menjauhkan amarah Allah dengan cara hidup kita? 10 Orang-orang Kristen insaf bahwa, untuk memperoleh perkenan Allah, mereka tidak akan menggunakan kehidupan mereka dalam kegiatan-kegiatan yang menyebabkan mereka melawan Allah. Maka mereka menjauhkan diri dari haluan orang-orang yang dilukiskan oleh Alkitab akan ditumpas oleh pelaksana hukuman Allah apabila susunan yang jahat ini berakhir. Wahyu 1917-21 Mereka menginsafi bahwa keputusan hukum dari Yehuwa benar dan adil. Dan mereka membentuk kehidupan mereka selaras dengan kehendakNya. Mereka sadar bahwa ini mungkin membuat mereka tidak diperkenan, bahkan dianiaya, oleh orang-orang yang semata-mata berminat pada susunan perkara yang ada sekarang. Tetapi dengan iman yang teguh bahwa cara Allah benar, mereka menjunjung hukum dan ibadatNya serta mengutamakannya dalam kehidupan mereka. Mikha 41-3 Dengan meniru Putra Allah sendiri, Yesus Kristus, mereka menggunakan kehidupan mereka, bukan untuk tujuan yang tamak atau demi keinginan orang-orang yang tamak, tetapi selaras dengan kehendak Allah. 1 Korintus 723; 1 Petrus 41, 2 Dengan berbuat ini, mereka benar-benar membayar kepada Allah apa yang menjadi milik Allah. 11. Bagaimana ketaatan kepada hukum sepatutnya mempengaruhi kehidupan kita? 11 Apakah saudara ingin mendapat perkenan Allah? Jika memang ingin, ketaatan kepada hukum harus saudara indahkan dalam hidup saudara. Ini akan mendorong saudara untuk memberi hormat sepatutnya kepada tetangga saudara maupun milik mereka. Ini akan membuat saudara menyegani para pejabat pemerintah. Tetapi, yang terpenting, ini akan menyebabkan saudara menyelaraskan hidup saudara sepenuhnya dengan keputusan-keputusan hukum Allah Yehuwa, Pemberi Hukum yang terbesar.
ketaatan kita terhadap hukum semestinya